Foto: techinasia.com
"Dulu waktu kecil, saya jarang sekali keturutan beli ini itu. Barang-barang yang saya inginkan tak pernah terwujud karena keterbatasan keuangan keluarga. Kini, setelah saya bisa mencari uang sendiri, apa yang dulu tak bisa saya dapatkan, sekarang saya bisa beli"
Banyak dari kita, terutama anak muda di kelas pekerja, menghadapi dilema yang sama.
Kondisi finansial yang lebih stabil dibandingkan masa kecil sering kali membawa kita pada fenomena yang disebut Doom Spanding---sebuah perilaku pengeluaran berlebih yang berakar pada rasa kurang yang terpendam selama masa kanak-kanak. Kita ingin menebus apa yang dulu tak bisa didapatkan, namun justru terjebak dalam siklus konsumsi tanpa henti. Di sinilah muncul konsep Loudbudgeting, sebagai jawaban yang mungkin. Namun, apakah ini solusi nyata atau sekadar tren yang dipicu FOMO?
Apa Itu Loudbudgeting?
Loudbudgeting adalah praktik membagikan secara terbuka anggaran pribadi di media sosial.
Baca juga:Galau Dikit, Checkout Lagi: Bagaimana Generasi Z Berhadapan dengan Doom Spending?
Ide utamanya adalah transparansi dan akuntabilitas, di mana seseorang memamerkan cara mereka mengelola keuangan, berapa yang mereka keluarkan, dan bagaimana mereka menyisihkan uang untuk berbagai pos pengeluaran. Fenomena ini sering kali muncul dari komunitas personal finance influencers yang mempromosikan gaya hidup finansial sehat dengan membuka rahasia budgeting mereka kepada publik.
Bagi sebagian orang, Loudbudgeting dianggap sebagai solusi praktis untuk menjaga disiplin keuangan. Dengan membagikan anggaran kepada orang lain, mereka merasa lebih bertanggung jawab atas pengeluaran mereka. Efek ini mirip dengan diet yang diumumkan kepada banyak orang, yang membuat seseorang lebih termotivasi untuk tetap konsisten.
Namun, pertanyaannya: apakah Loudbudgeting benar-benar efektif, atau hanya membuat kita lebih sadar diri karena ingin terlihat berhasil di mata orang lain? Ini adalah salah satu pertanyaan utama yang harus dipertimbangkan, terutama bagi generasi muda yang sudah terbiasa dengan gaya hidup serba publik di media sosial.
Doom Spanding dan Trauma Masa Kecil
Untuk memahami fenomena ini, kita perlu kembali ke akar masalah: Doom Spanding.
Istilah ini, yang diambil dari kata "dominant spending", mengacu pada kebiasaan pengeluaran yang didorong oleh emosi. Studi sosiologis dan psikologis menunjukkan bahwa pengeluaran berlebih sering kali berkaitan dengan trauma masa kecil, terutama pada individu yang tumbuh dalam kondisi ekonomi terbatas. Anak-anak yang tidak pernah bisa membeli apa yang mereka inginkan cenderung mengembangkan keinginan berlebihan untuk berbelanja ketika mereka memiliki penghasilan sendiri.
Menurut penelitian dari American Psychological Association, trauma masa kecil akibat kekurangan ekonomi dapat mempengaruhi cara seseorang melihat uang ketika dewasa. Mereka mungkin melihat uang sebagai cara untuk &;membayar&; kebahagiaan yang dulu tak pernah dirasakan. "Ketika seseorang mulai menghasilkan uang sendiri, mereka sering kali merasa memiliki kebebasan untuk membeli apapun yang mereka inginkan," ujar Dr. Samantha Stein, seorang psikolog finansial. "Namun, tanpa disadari, mereka terjebak dalam siklus yang didorong oleh emosi---di mana belanja menjadi pelampiasan atas perasaan kehilangan atau rasa kurang dari masa kecil."
Di sinilah Loudbudgeting muncul sebagai pilihan bagi mereka yang merasa perlu &;mengontrol&; kebiasaan belanja mereka. Dengan membagikan pengeluaran dan rencana keuangan kepada orang lain, mereka berharap dapat memutus siklus pengeluaran impulsif yang dipicu oleh emosi.
Apakah Loudbudgeting Solusi?
Meskipun terdengar menarik, Loudbudgeting bukan tanpa kritik.
Para ahli menyebut bahwa mempublikasikan rencana anggaran secara terbuka dapat memperburuk masalah bagi mereka yang mudah terpengaruh oleh tekanan sosial. Dalam studi terbaru yang diterbitkan oleh Journal of Consumer Psychology, ditemukan bahwa semakin banyak seseorang mempublikasikan kebiasaan finansialnya, semakin tinggi tingkat kecemasan yang mereka rasakan terhadap persepsi orang lain. Alih-alih menjadi lebih bertanggung jawab, banyak dari mereka yang justru merasa terjebak dalam siklus ingin terlihat sempurna.
Faktor lain yang harus diperhatikan adalah risiko Loudbudgeting menjadi alat pamer. Dalam dunia yang sangat dipengaruhi oleh media sosial, segala hal cenderung berubah menjadi ajang kompetisi, termasuk budgeting. Beberapa orang mungkin menggunakan platform ini untuk menunjukkan betapa &;sukses&; mereka dalam mengelola keuangan, yang justru dapat memicu rasa iri dan kecemasan pada orang lain yang berada dalam kondisi keuangan yang berbeda.
"Saya mencoba mengikuti Loudbudgeting selama beberapa bulan," kata Nadia (27), seorang pekerja kreatif di Jakarta. "Awalnya, saya merasa terbantu karena bisa melihat pola pengeluaran saya dengan lebih jelas. Tapi lama-kelamaan, saya justru merasa tertekan. Ada ekspektasi bahwa saya harus selalu tampak berhasil, dan itu membuat saya lebih fokus pada citra dibandingkan disiplin keuangan."
Mengatasi Doom Spanding Tanpa Tekanan Sosial
Jadi, apa solusi bagi mereka yang terjebak dalam Doom Spanding namun merasa Loudbudgeting hanya menambah tekanan sosial? Ada beberapa pendekatan yang bisa dipertimbangkan:
1. Refleksi Diri
Mengakui bahwa pengeluaran yang didorong oleh emosi adalah langkah pertama. Pahami bahwa trauma masa kecil dapat memengaruhi keputusan keuangan Anda. Refleksi diri membantu kita menyadari akar masalah tanpa perlu mencari validasi dari luar.
2. Rencana Keuangan Pribadi
Alih-alih mempublikasikan anggaran keuangan Anda, pertimbangkan untuk membuat rencana keuangan yang personal dan realistis. Diskusikan rencana ini dengan orang-orang terdekat atau seorang profesional finansial yang dapat memberikan saran tanpa ada tekanan sosial.
3. Mindful Spending
Latih diri Anda untuk lebih sadar dalam setiap pengeluaran. Sebelum membeli sesuatu, tanyakan pada diri sendiri, "Apakah ini kebutuhan atau keinginan?" Teknik ini dapat membantu mengurangi pengeluaran impulsif yang didorong oleh emosi.
4. Mengelola Ekspektasi Sosial
Media sosial sering kali membuat kita merasa harus mengikuti standar orang lain. Cobalah untuk lebih bijak dalam menyaring informasi yang Anda terima. Ingat, keuangan adalah hal yang sangat personal, dan apa yang berhasil untuk orang lain mungkin tidak selalu cocok untuk Anda.
Kesimpulan: Loudbudgeting, Tren atau Solusi?
Loudbudgeting mungkin terlihat sebagai solusi bagi mereka yang berjuang melawan kebiasaan belanja impulsif. Namun, penting untuk menyadari bahwa ini bukanlah jawaban universal. Setiap orang memiliki latar belakang finansial dan emosional yang berbeda, dan apa yang cocok untuk satu orang belum tentu cocok untuk yang lain. Pada akhirnya, solusi terbaik untuk menghadapi Doom Spanding adalah dengan pendekatan yang lebih reflektif dan personal, bukan melalui pameran keuangan di media sosial.
Jadi, sebelum terjebak dalam tren Loudbudgeting, tanyakan pada diri sendiri: Apakah ini benar-benar membantu, atau hanya sekadar mengikuti tren demi terlihat baik di mata orang lain?
source: kompasiana
Baca Juga: Bank Hariarta Gelar Training
19 Jul 2024
(Jakarta Selatan, 19/07/2024). Bank Hariarta, bersama dengan 9 BPR lainnya sukses menyelenggarakan akad kredit sindikasi di Hotel Gran Ma...
09 Dec 2024
Pasar tengah dibanjiri dengan optimisme terhadap potensi pemangkasan suku bunga acuan The Fed dalam rapat Federal Open Market Committee (...
14 Aug 2024
Bank Hariarta dengan bangga mengumumkan bahwa kami berhasil masuk dalam daftar Top 417 BPR Raih Predikat Sangat Bagus Peringkat 20 Nasion...
Bank Hariarta berijin dan diawasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
Bank Hariarta merupakan peserta penjamin LPS